Menanti si buah hati
Weekend kemarin kerabat jauh suami saya yang sedang berjalan jalan ke kota ini mampir dan menginap di rumah kami.
Om beserta tante Ar dan dua orang anak lelakinya yang memang belum pernah berkunjung ke kota singa ini senang sekali diajak berkeliling ke pulau sentosa.
Pagi hari saat kedua anaknya masih terlelap, Om dan tante Ar bercerita panjang tentang kisah mengharukan,perjuangan mereka mendapatkan si buah hati.
9 tahun mereka menanti, dalam kurun waktu itu, segala upaya telah dilakukan, segala ikhtiar dan doa tiada putus mereka panjatkan...
mereka pernah berkeliling ke seluruh penjuru propinsi untuk berobat baik secara medis maupun alternatif.
Om Ar bahkan rela harus bolak balik keluar kota setiap akhir minggu untuk melakukan pengobatan selama bertahun tahun.
Jenuh, putus asa dan sedih pasti kerap datang, apalagi hasil yang diharapkan tak kunjung jadi kenyataan, namun mereka terus berusaha. Hingga akhirnya di tahun ke delapan perkawinan mereka, mereka memutuskan untuk mengadopsi seorang anak (sekarang si sulung), dari adik tante Ar.
Sejak saat awal kehamilan adik tante Ar, mereka sudah bersepakat bahwa kelak jika lahir, anak tersebut akan diserahkan kepada om dan tante Ar. Meski bukan dari rahimnya sendiri, tante Ar sangat excited menanti calon buah hatinya.
Namun pada usia kehamilan 5 bulan, musibah terjadi, adik tante Ar yang sedang mengandung calon bayi adopsi tersebut terkena tumor di daerah sekitar rahim, hingga harus dioperasi.
Saat itu, sang bayi sampai terpaksa harus dikeluarkan dari rahim terlebih dahulu, karena dokter harus melakukan operasi pembersihan tumor. Setelah operasi selesai, bayi tersebut baru kembali dimasukkan kedalam rahim.
Harapan tante Ar tentu saja sempat menipis, namun atas kuasaNYA, bayi itu selamat, hingga dilahirkan dan menjadi putra om dan tante Ar.
Meski telah memiliki putra adopsi dan segala usaha untuk memiliki keturunan kandung telah mereka hentikan, keinginan rupanya masih sama sama terpendam baik di benak om maupun tante Ar, mereka kembali meminta kepadaNYA dengan melakukan sholat malam setiap hari selama 90 hari. Akhirnya pada tahun ke 9 perkawinan om dan tante, Allah mengabulkan doa dan upaya mereka. Tante Ar mengandung, meskipun sempat diduga juga terkena tumor di sekitar rahim.
Betapa bahagianya om dan tante Ar atas karunia itu, dengan sangat hati hati mereka jaga janin itu hingga tiba masa kelahiran. Proses kelahiran yang harus dialami Tante Ar sangatlah luar biasa, entah karena terlalu nervous atau usia yang sudah tidak lagi muda, Tante Ar mengalami kejang dan kondisi yang didalam dunia medis dikenal dengan sebutan Eclampsia, pada saat tiba waktunya melahirkan, tante Ar tidak sadarkan diri dan comma selama tiga hari. Ia melahirkan secara normal dalam keadaan comma tanpa dapat menyaksikan dan merasakan proses kelahiran putranya, peristiwa yang telah ia nantikan selama bertahun-tahun. Menurut om Ar, seluruh badan Tante saat itu membiru, mukanya pucat pasi dan tekanan darahnya tinggi sekali.
Keadaan tante Ar yang sangat mengenaskan itu membuat Om dan orang tua mereka berpikir bahwa Tante Ar tidak akan selamat, apalagi saat itu, dokter yang menangani menjelaskan bahwa dalam kondisi seperti yang dialami oleh tante Ar dan bayinya, secara medis kemungkinan yang terbesar adalah salah satu atau bahkan keduanya, ibu dan si bayi, tidak dapat diselamatkan, sangat kecil kemungkinan untuk si ibu dan bayinya akan sama sama dapat dapat bertahan.
Dapat dibayangkan betapa pilunya hati Om Ar saat itu, peristiwa yang telah ia impikan sangat lama, menjadi saat yang sangat menakutkan karena harus dipertaruhkan dengan kehilangan salah satu atau kedua belahan jiwanya.
Menurut tante Ar, saat di rumah sakit itu, ia seolah terbang meninggalkan badannya dan melesat keatas langit langit ruang bersalin melihat Om, orang tuanya dan mertuanya menangis mengelilingi badannya.
Namun sekali lagi kuasa Allah menolong mereka, pada hari ke empat, tante Ar tersadar dan perlahan membuka matanya menanyakan anaknya...
Peristiwa kelahiran itu, lagi lagi menambah keyakinan Om & Tante Ar akan kekuasaan Allah.
Namun cobaan rupanya belum berhenti sampai disitu, pada saat usia si Bungsu mencapai 3 tahun, tante Ar mengalami sakit dan kemudian diketahui sebagai kanker rahim.
Anehnya, menurut hasil pemeriksaan lanjutan, kanker tersebut diprediksi sudah ada sejak lama, jauh sebelum tante Ar mengandung. Jika dilihat secara logika, seharusnya hampir mustahil tante Ar dapat mengandung dengan keadaan Rahim yang seperti itu. Saat itu juga tante Ar diminta untuk melakukan operasi pengangkatan rahim, seluruh rahimnya akhirnya diangkat, menutup kemungkinan tante Ar untuk dapat mengandung lagi. Saat mereka bercerita, sekuat tenaga saya berusaha menahan air mata, apalagi mereka berkata bahwa bagaimanapun mereka tetap meyakini bahwa semua yang digariskan dalam hidup mereka sangatlah indah dan penuh makna...
tak henti hentinya mereka mengucap syukur atas semua karunia yang telah dianugerahkan kepada mereka.
Diam diam akhirnya saya masuk ke kamar dan menghapus airmata, haru karena mendengar cerita mereka, sekaligus juga malu pada diri saya sendiri.
Duh Gusti.... ampuni saya..
belum seberapalah rasanya yang saya harus alami dibanding yang harus mereka hadapi.
Namun lihatlah saya kini,
memendam sedih dan iri tiap kali melihat pasangan yang mendapat bayi yang lucu,
merasa nyeri di hati tiap kali "sang tamu bulanan" datang dan datang lagi,
meluapkan amarah tiap kali hasil test tidak berkata "positif",
menggigit bibir menahan pilu tiap kali orang bertanya...
putus asa, frustasi, hingga akhirnya tak lagi mau meminta...
5 setengah tahun menanti, bukanlah waktu yang pendek untukku,
tapi masih jauh lebih pendek dari yang mereka lalui...
Mungkin masih banyak sekali cerita yang lebih mengharukan dari cerita Om dan tante kami ini, namun bagi saya, mereka berdua seakan dikirim khusus untuk mengingatkan kami,...
bahwa masih akan selalu ada secercah harapan, apalagi jika kami tetap percaya dan terus meminta, DIA selalu MAHA TAHU apa yang terbaik bagi ummatNYA, bukan?....................